Sastra Budaya

Kamis, 04 November 2010

Seruan Abad Kemuliaan

Terlebih dulu ada lebih baik para pembaca melakukan renungan suci hidup, demi keheningan dan tumbuhnya keseimbangan antara akal (pikiran), budi(tindakan) dan perasaan.Renungi dan hayati dengan teliti bacaan di dalam tulisan ini, tiada guna baca tanpa penghayatan serta tindakan nyatanya.
Digma digma penghiatan amanat para hidup (makhluk) dalam kehidupan, memang semakin nampak menapak dampak pada rasa yang berperasaan. Titik rasa yang bergaris perasaan seolah berubah pindah tanpa sopan. Sopan hampir tiada tersapakan, santun nyaris tiada terlantun. Budi pekerti terasa sepi. Budaya hampir sirna tiada daya. Budi daya, tata susila, telah hampa. apakah ini ciri hilangnya sebagian sang penyandang gelar makhluk mulia?
Pengolah rasa di dunia sesungguhnya mutlak kewenangan makhluk yang mulia. Pengolah itu bukan pengalih. Diakui atau tidak dalam benak, sesungguhnya para yang mulia di dunia telah banyak mengalihkan olah rasa menjadi olah harta, tidakkah kita malu dalam keliru ? betapa bodohnya sebagai yang termulia di dunia hanya tahu olah harta! malulah pada sang hidup mulia kita! sungguh! sesungguhnya hidup tidak untuk berlomba harta tiada akan pernah Tuhan Pencipta Alam semesta menurunkan pangkat atau gelar manusia terkaya harta. Yang kaya mesti ada yang lebih kaya. Itu lah bentuk tegurannya. Janganlah kaya harta tanpa mengetahui syarat rukunnya. Mau kah kita dipandang bukan makhluk mulia?
Kekeliruan yang berkepanjangan bisa berubah menjadi murka! Ingat! Suara suara manusia adalah suara penciptanya. Murkanya manusia adalah murkanya Penciptanya. Mengapa? Sebab manusia manusia di dunia telah dinobatkan sebagai pemimpin, yang semestinya bisa mewakilinya. Sudah kah kita bisa memimpin memun caknya hawa nafsu yang ada? mari kita hayati demi implementasi kepemimpinan kemuliaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar